Histats

Wednesday 17 September 2014

Kiat Menghadapi Ujian Hidup

Hidup ini merupakan anugerah Allah SWT kepada kita hamba-Nya. Kenikmatan dan kesyukuran berselang-seling dengan ujian dan musibah. Insan muslim yang beriman dan bertaqwa menerima kenikmatan dengan penuh rasa syukur dan menyikapi ujian dan musibah dengan kesabaran.

Namun, seringkali kita kurang proporsional dalam menghadapi ujian maupun musibah. Kita merasa seolah-olah selama ini belum pernah menerima nikmat Allah saat ditimpa ujian. Sebaliknya seringkali takabur saat menerima nikmat. Sikap ini menandakan bahwa kita belum matang secara spiritual. Ibarat tertusuk duri kecil, rasa sakitnya sebenarnya hanya 10 namun mengeluhnya 100.

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra menyampaikan nasihat yang tepat untuk kita jadikan renungan dalammenghadapi ujian hidup. Kiat pertama yaitu mengingat Allah SWT, mengembalikan semua kepada-Nya. “Agar pedihnya ujian terasa ringan, hendaklah engkau mengetahui bahwa Allah SWT yang telah mengujimu. Dia yang menimpakah takdir-Nya kepadamu adalah Zat yang juga biasa memberimu sebaik-baik pilihan alam hidup”.

Pesan Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra diatas memiliki makna mendalam dalam menata hati saat menghadapi ujian dan musibah. Sikap batin seorang muslim seharusnya berimbang. Dalam menghadapi ujian dan musibah maka ingatlah bahwa ujian itu datangnya dari Allah SWT yang juga telah banyak melimpahkan nikmat-nikmat yang jauh lebih besar. Dengan mengingat kenikmatan yang telah Allah berikan maka kita akan merasakan bahwa ujian tersebut kecil karena kita memiliki Allah SWT yang Maha Besar.

Kiat kedua yaitu menyadari bahwa hakikat ujian sesungguhnya adalah menaikkan kelas diri kita. Kita sudah seringkali menghadapi ujian di sekolah sedari kecil hingga sekarang. Saat ujian kita memang merasakah kesusahan, kepayahan. Namun, setelah lulus dan naik kelas kita akan sangat gembira karena telah berhasil menghadapinya. Sejatinya demikian pula dengan ujian hidup. Allah SWT ingin menaikkan kelas kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi di hadapan-Nya.

Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra berkata “Apabila manusia memahami bahwasanya suatu cobaan yang datang dari Alah SWT diterima dengan ridha dan dipahami pula sebagai anugerah, maka ia akan menerimanya tidak dengan hati sedih dan bahkan menjadi sesuatu yang sangat ringan”.

Insan beriman memahami bahwa ujian merupakan bentuk lain dari nikmat karena dengannya manusia akan semakin insyaf atas ketidakberdayaannya di hadapan Allah SWT. Keinsyafan ini akan membawa kepada kesadaran bahwa ujian itu jika dihadapi dengan penuh kesabaran akan menggugurkan dosa-dosa. Batin yang dekat dengan-Nya maka akan merasakan ujian seberat apapun terasa ringan. Namun sebaliknya batin yang jauh dari-Nya akan terus mengeluh dan merasakan ujian yang mungkin kecil terasa besar dan berat.

Kiat ketiga yaitu berbaik sangka kepada Allah SWT. Seringkali kita berburuk sangka atas ujian hidup yang kita alami soelah-olah kita merasa bahwa Allah SWT tidak adil atas diri ini. Sering kita lupa bahwa Dia lebih banyak memberikan kenikmatannya kepada kita. Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra berkata, ”Apabila engkau belum sanggup berbaik sangka kepada Allah SWT lantaran kesempurnaan sifat sifat-Nya, maka berbaiksangkalah karena pertemanannya bersamamu. Bukankan Dia selalu memberimu sesuatu yang baik-baik? Dan bukankah dia senantiasa memberimu segala kenikmatan?”. Indah sekali nasihat syeikh diatas bahwa kita  harus berbaik sangka kepada-Nya. Ibarat kita memiliki sahabat karib, terkadang terjadi satu dua masalah kecil. Namun, masalah-masalah tersebut jangan sampai merusak persahabatan dan kebaikan yang telah terjalin sekian lama. Ingatlah selalu banyaknya dan besarnya kebaikan yang telah diberikan oleh-Nya, maka ujian tadi akan terasa ringan.

Kiat keempat yaitu yakin bahwa ujian merupakan bentuk cinta Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman. Dia sangat mencintai hamba-Nya meskipun kita kadang terlupa untuk taat kepada-Nya. Dia telah menghamparkan bumi dan menyediakan segala keperluan hidup kita tanpa kita minta. Perasaan cinta kepada-Nya ini jauh lebih mendalam dibandingkan cinta kepada sesamanya. Dalam bahasa Inggris perasaan ini adalah feel in love, yaitu rasa cinta yang melingkupi dan menyelimuti segenap perasaan. Maka saat rasa cinta kepada Allah SWT ini kita hadirkan, kita akan yakin bahwa ujian bukanlah bentuk kebencian melainkan bentuk kecintaan-Nya.

Keempat sikap batin diatas akan menghadirkan hikmah, kearifan dan kebijaksanaan atau divine wisdom. Hikmah adalah sesuatu yang diperoleh seesorang setelah mengalami suatu peristiwa tertentu baik musibah atau nikmat. Namun tidak lama setelah musibah atau nikmat itu ternyata Allah menunjukkan hikmah lebih besar.

Bagaimanakah cara mendapatkan hikmat ini? Terdapat tiga tingkatan untuk memperoleh hikmah. Pertama dan yang paling tinggi adalah kepasrahan yang total (tafwid). Semakin seorang hamba pasrah kepada Allah SWT, maka Dia yang akan semakin proaktif dalam menolong hamba tersebut. Sebagai contoh janin dalam rahim ibu. Sang janin pasrah total atas takdir Allah SWT kepadanya dan Allah SWT menjaganya melalui ibu yang begitu besar cintanya kepada janin yang dikandung. Kedua yaitu kepasrahan namun disertai perkataan/ teriakan (taslim). Contoh dari taslim ini adalah bayi yang menangis dikala lapar dan haus. Tangisan lapar dan haus ini akan terdengar berbeda dengan tangis kesakitan. Ketiga yaitu kepasrahan disertai usaha (tawakal). Pilihan kita dalam memilih cara kepasrahan akan menentukan hikmah yang kita peroleh.

Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita hati yang selalu bersyukur. Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra berkata, “Siapa yang tidak mendekat kepada Allah SWT dengan halusnya kebaikan yang dia berikan maka ia akan diseret  (supaya mendekat) dengan rantai cobaan”. Pesan ini mengandung makna bahwa Allah SWT sayang kepada kita hamba-Nya. Allah SWT ingin agar kita selalu dekat dengan-Nya. Namun seringkali kita yang melalaikan-Nya karena berbagai alasan. Dalam kondisi ini Allah SWT memberikan teguran kecil berupa ujian dan cobaan hidup agar kita kembali kepada-Nya, menapaki jalan kehidupan sesuai dengan ajaran-Nya.  Syeikh Ibnu ‘Atha’illah ra menambahkan bahwa setelah hamba itu dekat dengan Allah SWT baik melalui jalan kenikmatan maupun jalan musibah, Dia yang Allah berkenan mencurahkan nikmat karunia yang tiada bandingannya depada sang hamba. Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat berarti ia membuat jalan hilangnya nikmat itu. Dan siapa yang mensyukurinya berarti dia telah secara kuat mengikat nikmat tersebut. Prof. Dr. H. Nasarudin Umar MA

No comments:

Post a Comment